top of page

PENDIDIKAN YANG MENJEMUKAN

Jauh sebelum Indonesia merdeka, sekira tahun 1900-an saat wilayah indonesia yang dikenal Hindia Belanda masih dalam kekuasaan pemerintahan belanda. Belanda dengan didahului oleh VOC dengan segala kebijakannya telah membutakan masyarakat indonesia akan hidup bebas dengan hak asasinya masing-masing. masyarakat indonesia dibiasakan untuk menjadi budak dalam tanahnya sendiri sehingga lama-kelamaan lupa sudah jika ia adalah budak di tanahnya sendiri.


Setelah Indonesia merdeka, indonesia mulai berbenah. Segala hal yang sebelumnya dipegang oleh pihak penjajah diambil alih kepengurusannya oleh negara ini, salah satunya adalah bidang pendidikan.


Pendidikan di zaman penjajahan, adalah pendidikan dengan mengedepankan kepatutan pada negeri belanda, siswa diberi pendidikan justru agar setelah lulus mau bekerja dan mengabdi pada pemerintahan belanda demi kelangsungan penjajahan. Hal ini yang menyebabkan pemuda-pemuda indonesia yang bersekolah luntur sudah rasa nasionalisme pada tanah airnya karena diharuskan dan dibiasakan menjadi penurut pada penjajah dengan atau tanpa rasa keterpaksaan.


Kini, setelah sudah 71 tahun Indonesia mengurus pendidikannya sendiri, telah berbagai kurikulum, berbagai sistem dibuat untuk memajukan bangsa dan Negara Indonesia lewat pendidikan. Karena semua tahu, tidak akan pernah suatu Negara akan maju warganya jika pendidikan tidak berjalan dengan sebagaimana harusnya. Namun kini, pendidikan yang diharapkan mampu menciptakan manusia Indonesia yang cakap akan kemajuan zaman, cakap menanggapi persoalan Negara justru seolah berdiam diri tanpa sesuatu hasil nyata.


Satu yang saya sorot sebagai salah satu warga yang pernah bersekolah dan sedang berkuliah. Pendidikan Indonesia belum maksimal dijalankan, pendidikan Indonesia belum bisa dirasakan oleh semua pemudanya, dan pendidikan di Indonesia belum bisa menjadikan anak didiknya memiliki kualitas untuk saling bersaing dan bersinergi memajukan dan mensejahterakan masyarakat Indonesia, bahkan cenderung menjemukan.


Hal ini bukan omong kosong semata, coba saja bagi kita sebagai orang tua misalnya menanyakan kepada anak kita bagaimana rasanya sekolah. Berbagai jawaban tetapi satu yang sering kita dengar adalah “capek”. Betapa hal tidak sepatutnya terjadi, sekolah ataupun kampus sebagai pusat pembinaan calon penerus bangsa seharusnya menjadi tempat yang disenangi sehingga didalamnya terdapat proses belajar yang menyenangkan, aktif dan mengembangkan daya pikir, imajinatif dan solutif justru menjadi tempat yang tidak disukai oleh warganya.


Permasalah pendidikan di Indonesia memang sudah sejak lama dirasakan dan diketahui, mulai dari komersialisasi pendidikan, selalu berubahnya system atau kurikulum, ataupun sarana prasarana yang belum memadai. Namun satu yang menjadi sorotan saya adalah bahwa pendidikan di Indonesia telah gagal membuat peserta didiknya mempunyai rasa “ingin tahu” atau rasa “penasaran” akan sesuatu, apapun itu. Saya sependapat dengan komika Indonesia, Panji Pragiwaksono. Dalam acaranya yang bertajuk Juru Bicara World Tour di Jakarta ia berpendapat jika “semua pengetahuan diberikan kepada siswa kita sehingga siswa kita kehilangan rasa penasarannya, lantas siswa kita mencari sesuatu diluar dari yang diajarkan di sekolah. Tetapi jika mereka mencari sesuatu diluar dari yang diajarkan di sekolah mereka dicap sebagai siswa yang nakal”. Jelas ini menjadi dilematis bagi siswa kita, di satu sisi mereka punya rasa ketertarikan akan sesuatu dan mencoba mencari tahu, tetapi ia dipaksa untuk tertarik kepada sesuatu yang ia sendiri sudah tidak tertarik akan hal tersebut.

Permasalahan ini sejatinya sudah sangat sering dibicarakan oleh para praktisi pendidikan di Indonesia dan sudah dimunculkan solusinya, salah stunya yaitu dengan penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ini diharapkan mampu menjadi alternate bagi siswa yang memiliki ketertarikan atau minat diluar dari pelajaran yang diajarkan di dalam kelas dan cenderung untuk mengembangkan kemampuan psikomotorik siswa. Namun pelaksanaan yang belum maksimal menjadikan solusi ini tidak serta merta mampu menjawab permasalahan yang sedang dihadapi saat ini.


Satu yang perlu disorot adalah tentang banyaknya beban mata pelajaran yang dipelajari oleh siswa. Sehingga apa yang mereka dapat cenderung umum dan tidak mendetail atau bisa kita sebut “sekedar tahu”. Banyaknya beban mata pelajaran menjadikan siswa kehilangan waktu untuk mempelajari sesuatu yang sifatnya lebih daripada sekedar teori, yaitu doing atau melakukan sesuatu. Ditambah dengan banyaknya tugas yang diberikan oleh guru membuat siswa bisa dikatakan “Muak” dengan mata pelajaran dan sekolah. Mereka kehilangan semangat untuk belajar, karena telah terstigma dalam diri mereka jika mereka datang ke sekolah, mereka akan mempelajari sesuatu yang tidak disukai, bertemu dengan buku-buku yang membingungkan serta ditambah dengan tugas yang begitu banyak membuat mereka semakin merasa semua yang ada di sekolah menjadi “tak berguna”.


Perlu kiranya pembaruan dalam system pendidikan di Indonesia, dengan pembatasan mata pelajaran dan materi pelajaran yang dibebankan kepada siswa. Atau bisa juga dirumuskan system dimana siswa bebas memilih mata pelajaran atau materi yang disukainya. Namun diawali terlebih dahulu diberitahukan dan dijelaskan satu persatu semua yang bisa dipilhnya. Agar ada bayangan atau gambaran awal dari mata pelajaran atau materi tersebut. Perlu juga kiranya pembatasan tugas yang dibebankan kepada siswa, karena dengan banyaknya tugas siwa kita kehilangan waktu untuk bermain, untuk mengembangkan kemampuan soft skill mereka. Kita tentu semua tahu jika kepintaran atau kepandaian pikiran tidak menjamin peserta didik mampu menyelesaikan persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Maka dibutuhkan waktu yang lebih banyak bagi mereka untuk bermain, mencoba melakukan sesuatu agar mempunyai pengalaman untuk menghadapi persoalan-persoalan nantinya.


Perlu juga rasanya kita menyoroti kinerja guru selama ini, tidak lengkap jika kita hanya meyoroti system tanpa mencoba mengkritisi para pengguna system tersebut. Guru adalah ujung tombak dari pendidikan. Guru adalah profesi yang sangat mulia karena dipundaknya masa depan bangsa disematkan. Selama guru belum memiliki kemampuan atau kecakapan pedagogis yang memadai, maka dipastikan tujuan pendidikan tidak akan tercapai, kalaupun tercapai mungkin pencapaian minimal dari tujuan pendidikan itu sendiri.


Guru dengan segala keterbatasannya sebagai manusia, dituntut untuk memiliki kemampuan untuk menyalurkan apa yang ia tahu kepada anak didiknya, dengan cara dan pendekatan apapun selama tidak berseberangan dengan norma dan hukum yang berlaku. Guru memiliki tugas yang sangat berat, karena di tangannya lah rupa-rupa calon penerus bangsa dibentuk, ditempa dan dibina akhlak serta pengetahuannya.


Dahulu profesi guru menjadi pilihan yang tidak terlalu diminati oleh pemuda bangsa karena tidak bisa mendatangkan uang atau setidaknya kehidupan yang layak baginya. Sehingga seorang yang memilih menjatuhkan dirinya menjadi guru tentu bukan berdasarkan materi tetapi dari dorongan hati nuraninya untuk ikut serta membangun masyarakat yang beradab lewat pendidikan. Namun, saat ini kita bisa melihat banyaknya peminat membuat profesi guru bukan hanya tentang memajukan bangsa, alan tetapi lebih kepada berdasarkan materi semata. Dampaknya bisa kita rasakan, guru mengajar seenaknya sehingga bukan mencerdaskan namun menghilangkan sisi kecerdasan dan kreativitas anak didiknya.


Akhirnya kita tiba pada sebuah pandangan yang sama, jika tugas pendidikan bukan bagaimana membuat anak didik kita menjadi pintar hanya dari segi kognitif saja. Lebih dari itu, kepintaran dari sisi psikomotorik dan religious menjadi hal yang perlu juga diutamakan dalam praktiknya. Karena pintar otak tanpa akhlak dan tanpa bisa berkarya hanya akan menjadi pengetahuan semu tak berguna, layaknya pohon tinggi tanpa daun dan tanpa buah. Hanya bisa dilihat tanpa kita bisa merasakan manfaat dari pohon tersebut.


Ciputat, 25 Januari 2017

Agung Wijaksono

Featured Review
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Tag Cloud
No tags yet.
bottom of page