top of page

Desa rasa Kota

Aku pernah merasa sangat nyaman ketika melihat air hujan lewat jendela rumahku di desa. Akupun pernah bahagia ketika dahulu melihat petani-petani riang gembira menuju sawah mereka. Aku juga sangat ceria ketika dahulu bersama kawan-kawanku bermain bola dengan lapangan penuh lumpur dilanjutkan dengan mandi bersama di sumur warga samping persawahan. Aku juga selalu bersemangat dahulu saat bedug masjid bersahutan disusul dengan adzan berkumandang, berkumpul kawan sebaya bermain dengan sarung dan peci ditengah-tengah belajar Al-Qur'an.


Sekarang, jendela rumahku tak lagi terbuka ketika hujan turun. Sekarang, aku melihat petani berjalan lambat dan tertunduk lesu dengan cangkul di pundaknya. sekarang kawan, aku tak lagi melihat anak-anak kecil menendang bola dengan kekuatan kaki mereka. Dan sekarang, kawan bisa rasakan dan saksikan tak lagi ada semangat berkobar mendengarkan bedug masjid dan adzan, apalagi untuk sekedar ke masjid dan belajar Al-Qur'an.


Keadaan ini hanya sedikit perbandingan dari banyaknya perubahan yang terjadi di desaku saat ini. Desaku kini telah berubah, tak lagi seceria dan seindah saat aku masih dipanggil "anak kecil". Perubahan-perubahan yang menurutku tidak membawa dan membuat desaku menjadi maju, tetapi menuju kemunduran. Mundur dalam suasana pedesaannya dan dalam budaya pedesaannya. Banyak faktor yang membuat desaku kini berubah, banyak alasan mengapa sekarang desaku menjadi bukan desa lagi, tetapi hanya perkumpulan rumah-rumah yang disebut “desa”.


Sekarang aku melihat, para petani di desaku tak lagi dihargai. Entah ini adalah pandanganku saja ataukah memang seperti itu adanya. Padahal semua yang kita makan berawal dari keringat petani dan cangkul-cangkul yang bersahutan dengan tanah sawahnya. Pemerintah selaku pemegang dan pembuat kebijakan seharusnya lebih bisa melihat dan memperhatikan kondisi petani yang sekarang sungguh ironis. Harga pupuk yang mahal disertai dengan alat-alat pertanian yang masih sangat tradisional menjadi penghambat kinerja petani di desaku. Serta semakin sulitnya pengairan menjadi faktor lain yang ikut serta menjadi penyebab. Di lain sisi, banyak dari kita yang berpikiran jika petani manjadi pekerjaan yang kurang menjanjikan, hal ini bisa dilihat dari semakin sedikit jumlah petani yang ada di desaku. Bahkan sangat sedikit dari anak-anak di desaku yang mempunyai keinginan untuk menjadi petani. Wajar memang, karena saat ini, kesejahteraan seakan enjadi musuh bagi para petani di desaku.


Kemajuan zaman memang tak bisa kita hindari, karena memang sudah menjadi hokum alam jika manusia adalah makhluk berakal dengan penuh inovasi di dalamnya. Rasanya tak akan pernah cukup mau semaju apapun kehidupan manusia, karena selalu saja ada inovasi yang dilakukan dan dimunculkan. Dan kemajuan inilah bagiku yang membuat desaku menjadi seperti sekarang ini.


Keadaan yang sangat terlihat sekarang adalah desaku tak lagi hangat silaturahmi warganya. Sisi individualis sudah semakin mendarah daging dalam jiwa-jiwa mereka. Jarang terlihat lagi perkumpulan dan perbincangan di luar rumah, yang ada mereka berbincang dengan pembawa acara di Televisi dan Handphone di tangan mereka. Ironis memang, pedesaan yang menjadi benteng terakhir Negara Indonesia untuk menghadapi terjangan globalisasi sudah tak lagi kuat dan sudah hancur lebur di dalamnya. Kini, kita akan semakin sering melihat dan semakin merasakan betapa desa kita semakin hari semakin meng”kota”kan dirinya. Di samping itu, aku juga melihat jika anak-anak di desaku sekarang sudah menjadi dewasa sebelum waktunya. Lihat saja bagaimana anak-anak SD sudah meminta dibelikan sepeda motor, anak-anak SD bermain dengan media social, bahkan kini anak-anak SD sudah mulai berbicara cinta kepada lawan jenisnya. Bukan salah mereka memang, karena mereka memang belum mengerti mana yang baik dan buruk buat mereka. Karena bagiku, yang patut disalahkan adalah kita sebagai orang tua mereka. Kita sebagai orang tua belum bisa menjadi orang tua yang adil, untuk mengerti apa yang baik dan buruk bagi anak kita.


Dari sisi budaya, kita bisa melihat jika saat ini warga desa seakan melupakan kebudayaan daerahnya entah sengaja ataupun tidak. Mereka lebih bangga dengan budaya kota yang mereka sendiri tidak tahu dari mana asal serta tujuannya. Budaya desa dengan segala kesopanannya kini tak lagi menjadi penghias desaku. Lihat saja kini masjid desaku seakan dijauhi masyarakatnya. dahulu sangat banyak kegiatan yang dilakukan di masjid, tetapi kini hanya untuk sholat berjamaah di masjid saja rasanya enggan. Masyarakat kini lebih memilih untuk berdiam di rumah untuk menonton TV, ataupun pergi ke Mall di kota. Masjid seharusnya dikembalikan fungsinya menjadi tempat atau pusat kegiatan keagamaan masyarakat. Mulai dari anak-anak belajar Al-Qur’an, kajian keislaman, sholat berjamaah, dll. Sedangkan untuk kegiatan lain perlu diupayakan untuk dibuat sebuah pusat kegiatan juga, dimana di tempat tersebut akan timbul interaksi antar warga desaku tentunya. Mulai dari pembuatan perpustakaan untuk taman baca anak-anak, lapangan untuk berolahraga. Serta sebuah teater untuk peningkatan kegiatan kreativitas warga. Tiga tempat tersebut menurutku adalah wajib untuk diadakan, karena melihat sekarang kondisi desaku yang sangat kurang interaksi antar warga dan kurangnya tempat untuk pencarian bakat dan minat anak-anak. Tetapi nanti pun dalam pelaksanaannya harus mengacu pada nilai-nilai dan budaya desa kita agar desa kita akan kembali punya identitas yang sudah sekian lama hilang.


Tentunya hal diatas masih terlalu jauh dari bagaimana seharusnya desa kita, tetapi ini yang bisa aku upayakan. Mencoba mengajak kawan-kawan untuk sedikit saja memikirkan kondisi desa kita. Mencoba mencari cara agar desa kita tak lagi sepi, desa kita tak lagi menjadi kota dimana warganya sangat individualis. Semoga kita semua bisa bersinergi untuk mewujudkan apa yang menjadi tujuan kita bersama. Untuk anak-anak kita. Untuk desa kita tercinta.

Ciputat, 09 Desember 2016

Agung Wijaksono

www.kupusara.wixsite.com/agungwijaksono

Featured Review
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Tag Cloud
No tags yet.
bottom of page