top of page

HARUSKAH (ENGKAU) PERGI KE JAKARTA?

  • Agung Wijaksono (KupuSara)
  • Dec 4, 2016
  • 3 min read

Engkau yang akan pergi ke Jakarta, engkau yang baru ingin ke Jakarta, dan engkau yang akan mencoba membawa mimpimu ke Jakarta. Coba pikirkan kembali matang-matang kawan. Coba engkau pikirkan dalam-dalam, sudah kuatkah engkau sehingga berani untuk pergi ke Jakarta. Karena Jakarta ini, Jakarta kita tak akan mau membantu mewujudkan mimpi-mimpimu itu selagi dirimu tak punya “bekal” untuk ikut serta di dalam kehidupannya.

Jakarta yang engkau pikirkan adalah Jakarta yang penuh dengan kemewahan dan kemudahan hidup di dalamnya. Jakarta yang akan membawamu pada keadaan yang engkau anggap lebih baik daripada kehidupan di kampungmu sendiri. Engkau salah besar kawan, engkau sungguh telah salah besar. Justru Jakarta ini penuh dengan keegoisan, Jakarta adalah tempat dengan penuh kebencian dan kemunafikan.

Akan aku ceritakan kepadamu kawan, di Jakarta sudah tidak ada lagi tempat tersisa untukmu, walaupun sekedar bermalam. Jakarta sekkarang sudah tidak ada lagi satu saja pekerjaan yang tersisa untukmu kawan, walaupun sehari. Jakarta juga tidak punya lagi air minum untukmu kawan, walaupun seteguk saja. Bahkan Jakarta tak lagi punya udara yang cukup untuk dihirup olehmu.

Pernah terbersit tanya dalam pikiranku, kenapa engkau dan hamper semua warga di kampungku berbondong-bondong merantau ke Jakarta? Mengapa harus Jakarta? Tak adakah tempat lain yang bisa didatangi selain Jakarta? Apakah memang Jakarta menjadi tujuan ketika masa dewasa telah tiba?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku di atas rasanya akan segera tiba sekarang ini, jawaban itu akan segera datang dalam pikiranku sekarang ini. Jakarta dengan semua keadaannya akan menjawabnya sekarang juga. Jakarta dengan segala ceritanya akan membawaku untuk menceritakan jawaban itu kepadamu, kepada semua yang ingin ke Jakarta, sekarang juga.

Untuk pertanyaan di atas, kita harus melihat kondisi kampung halaman kita dulu tentunya. Kampung kita dahulu adalah kampong yang punya segalanya untuk kita menjalani kehidupan ini, untuk kita mencari penghidupan kita bagi keluarga kita. Tapi lihatlah kawan sekarang, kampong kita kering dari air, kampong kita tandus panas tanpa pohon tinggi nan rindang, kampung kita tak lagi punya tanah subur untuk padi dan yang lainnya tumbuh.

Selain itu kawan, lihat juga kini kampung kita tak lagi punya adat istiadat dan budaya yang dipertahankan warga kampung kita. Entah karena lupa atau memang sengaja dihilangkan, kita tak lagi punya tembok untuk menghalangi budaya dan adat istiadat kampung lain masuk kampung kita kawan.

Lihatlah kawan-kawan, lihatlah bagaimana kini anak-anak kita di kampung sudah tak lagi bangga dengan ke kampungannya. Tak lagi punya identitas dan lebih bangga mereka hidup di kota (Jakarta) yang penuh dengan kebohongan dunia semata. Tetapi ini juga salah kita kawan, kita tidak megajari mereka untuk bangga dengan kampungnya, dan kita juga tidak mempersiapkan kampung kita dan meriasnya agar anak-anak kita bangga dengan kampungnya.

Tetapi kawan, yang lebih memprihatinkan bagiku adalah mengapa kini, anak-anak kita tak lagi mau untuk bercocok tanam dan mencari penghidupan di kampung kita kawan? Apakah bercocok tanam, apakah menanam padi, menanam jagung, mengambil kelapa adalah hal yang hina sekarang sehingga anak-anak kita sekarang lebih bangga untuk menjadi karyawan nan jauh disana, jauh dari keluarga di kampung halamannya. Mengapa kini, bekerja dengan seragam bagi mereka adalah sebuah kebanggan?. Tak maukah mereka bermain lumpur di persawahan?. Tak maukah anak-anak kita berkeringat dengan cangkul di tangan?.

Jakarta memang menjanjikan kekayaan, Jakarta memang punya segalanya untuk kita mendapatkan kebahagiaan. Tetapi bagiku jakarta kini tak lagi menjanjikan. Kawan, Jakarta saat ini sungguh tidak lagi nyaman sebagai tempat untuk kita tinggal. Jakarta sudah sangat penuh sesak, sudah terlalu banyak orang di Jakarta dan sebagian besar mereka dari kampung seperti kita. Jakarta sudah terlalu renta untuk kita bekerja kawan. Sungguh bagiku, tinggal dan bekerja di kampung halaman lebih menyenangkan dibandingkan di Jakarta ini, di Jakarta kehidupan manusianya sungguh dalam ketergesa-gesaan. Jika kita di Jakarta, kita tak akan punya waktu untuk sekedar bersenang-senang karena kehidupan kita di Jakarta akan dipenuhi dengan bagaimana kita mencari uang dan mencari keuntungan dan sungguh tanpa ketenangan kehidupan di dalamnya.

Sesungguhnya fenomena ini adalah sebuah tantangan bagi orang kampung seperti kita, mampukah kita terus menjalani kehidupan tanpa kita harus pergi ke Jakarta. Kita harus bisa mencari jalan keluar agar anak-anak kita tak seperti kita yang hidup tak nyaman di Jakarta. Agar mereka bisa mencari penghidupan di kampung saja dan bangga dengan itu semua. Menjadi tugas kita semua untuk sesegera mungkin manjadikan kampung kita tempat yang akan memberika semua yang anak-anak kita cari dan inginkan agar mereka senantiasa terjaga dari bahayanya budaya kota dan budaya Jakarta, budaya yang akan merusak moral anak-anak kita, budaya yang sungguh akan membawa anak-anak kita kedalam kehidupan yang penuh dengan kesombongan tanpa tata karma dan kesopanan seperti apa yang orang tua kita ajarkan dahulu kepada kita. Cukup kita saja yang merasakan pahitnya Jakarta. Semoga anak-anak kita akan tetap di kampung, bercocok tanam dan mencari pekerjaan yag ada di kampung saja. Karena di kampung kita dilahirkan, di kampung kita berkehidupan, dan di kampung kita menanti kematian, semoga.


Akhirnya kita sendiri yang menentukan, hidup tenang di kampung halaman ataukah hidup di Jakarta dalam keramaian dan ketergesa-gesaan.

Ciputat, 5 Desember 2016

Agung Wijaksono

Comments


Featured Review
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Tag Cloud

© 2016 dari pemuda desa dan semoga untuk bangsa. Proudly created with Wix.com

  • Grey Facebook Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey Google+ Icon
bottom of page