top of page

Kemana Sifat Sosialmu?



Adat ketimuran, begitulah kiranya masyarakat Indonesia dikenal oleh masyarakat luar. Ketika dahulu portugis, belanda, cina, jepang, atau bangsa lain datang ke tanah nusantara. Masayarakat Indonesia selalu menyambut dengan hangat, selalu menerima dengan tangan terbuka sehingga membuat warga asing nyaman dan betah untuk sekedar menetap bahkan untuk tinggal lama di nusantara. Tidak ada prasangka negative sedikitpun dalam benak masyarakat Indonesia terhadap mereka yang pendatang, semua mereka anggap sebagai saudara sesama walaupun berbeda suku, agama dan Bahasa.


Masyarakat Indonesia yang dibentuk dari berbagai suku ini memang telah bisaa hidup berdampingan tanpa adanya pertentangan atau pertikaian. Namun itu masyarakat Indonesia ketika zaman dahulu, bukan kondisi sekarang dan mungkin bukan masyarakat yang akan ada di masa depan bumi indonesia. Sekiranya benar, masyarakat Indonesia kini sudah tergerus arus zaman dimana keuntungan pribadi adalah diatas segalanya dan kepentingan diri sendiri adalah yang pertama diusahakan tanpa melihat, tanpa mendengar, tanpa merasakan dan tanpa memikirkan apa dan bagaimana kondisi disekitarnya.


Bukan tanpa bukti, walaupun anggapan atau bahasan ini mungkin sudah tidak menarik lagi untuk dikaji bersama, karena jauh sebelum sekarang, sejak zaman modern dan keterbukaan informasi serta kemajuan teknologi merangsak masuk ke dalam negeri Indonesia, masyarakat Indonesia yang awalnya primitive mulai keluar dan menjadi manusia modern. Namun sungguh disesalkan, dasar atau tembok yang menanungi adat budaya bangsa masyarakat Indonesia yang masyarakatnya sungguh makhluk sosial tidak terbangun dengan kuat, sehingga tak kuat menahan dan akhirnya roboh tak tersisa. Tengok saja disekitar kita, berapa banyak masyarakat yang peduli dengan kehidupan disekitarnya?


Banyak hal-hal menarik yang bisa dibicarakan terkait isu individualistis masyarakat Indonesia, mulai dari hal-hal yang sederhana hingga hal-hal yang kompleks saya kira. Coba kita renungkan, berapa jam dalam waktu satu hari kita berbicara atau ngobrol dengan sahabat atau keluarga kita dan berapa lama waktu kita untuk memegang handphone untuk “berbicara” dalam dunia maya. Agaknya lebih banyak waktu kita di dunia maya akan semakin bertambah setiap harinya karena memang kita dituntut untuk itu. Kita dihadapkan pada zaman serba maju dan serba cepat. Handphone menjadi pegangan wajib, tidak bisa kiranya kita barang satu jam saja tidak memegang handphone. Handphone adalah alat utama dan pertama yang merusak sisi sosial masyarakat Indonesia jika kita tidak bisa menggunakannya secara tepat guna dan tepat waktu.


Dari sisi yang lain, anggapan jika kekayaan dalam bentuk uang adalah sesuatu yang harus ditonjolkan merupakan paradigma yang sangat ampuh membuat masyarakat kita menjadi individualistis. Time is money, slogan barat yang selalu digaungkan, slogan barat yang menggerus otak sosial kita telah tertanam sungguh sangat dalam di relung pikiran dan hati kita. Sangat sulit dan mendekati ketidakmungkinan jika seseorang yang “tidak kaya” akan dipandang atau dihormati di dalam lingkungan masyarakatnya. Justru mereka akan didiskreditkan karena dianggap tidak punya sesuatu yang bsa dibanggakan atau dimunculkan. Kita lupa, jika kekayaan tidak akan menjadi kepunyaan kita selamanya, kita lupa jika akan ada masanya kita tidak bisa lagi mampu bahkan untuk sekedar melihat kekayaan kita, apalagi untuk memegang (harta) yang kita punya jika kita telah meninggalkan dunia ini. Banyak yang beranggapan jika di dunia ya memang waktunya kita untuk berbahagia. Dan cara untuk bahagia adalah dengan menjadi kaya, kita lupa jika kekayaan sesungguhnya adalah kemampuan hati kita untuk memeberi kepada yang lain, bukan soal mengumpulkan untuk diri sendiri. (Erick Setyiowati).


Akhirnya, kita semua akan tiba pada kenyataan, jika sebenarnya kita adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain dalam hidup bermasyarakat. Arti atau makna saling membutuhkan ini sangat dalam maknanya, bukan hanya seperti penjual yang butuh pembeli dan pembeli yang butuh penjual. Lebih dari itu, saling membutuhkan disini adalah ketika kita hidup dalam masyarakat dimana keadaan seseorang tidak boleh dan jangan sampai lebih menderita dari kita. Seperti prinsip sama rasa, kita harus melihat kondisi sekeliling kita dan berbuat sesuatu untuknya. Kita punya tanggung jawab moral untuk ikut serta dalam mewujudkan masyarakat sejahtera, masyarakat adil makmur yang dicita-citakan pendahulu kita dalam berindonesia. Rasanya terlalu sempit hidup kita jika kita hidup hanya untuk mencari keuntungan pribadi, jika kita menjadi individualis di negeri sendiri, menjadi individualis yang sungguh hidupnya tak punya arti.


Semoga ini menjadi renungan bagi kita dalam berindonesia, menjadikan rakyat Indonesia Bhineka Tunggal Ika, walaupun berbeda tapi tetap satu jua, yaitu satu dalam keindonesiaa, satu dalam kesejahteraan dan satu dalam keadilan sosial.


Ciputat, 19 November 2016

Featured Review
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Tag Cloud
No tags yet.
bottom of page