top of page

Mahasiswa dan Kebermanfaatannya

Aku berjalan menuju kampus untuk kuliah, dengan pakaian sederhana khas pemuda desa, sepatu yang ketika di desa begitu dibanggakan namun menurut pandangan pemuda kota lebih baik disingkirkan dari pandang matanya. Berjalan tergesa-gesa didepanku seorang mahasiswa perempuan dengan "gaya" mahasiswa elit manusia abad 21. Sedangkan dibelakangku segerombolan anak sekolah menengah atas sedang bergurau menuju sekolah mereka yang berada didekat kampusku.

Di samping pintu kecil kampus UIN Jakarta, beberapa pengemis paruh baya terlihat memelaskan wajahnya sambil menengadahkan tangannya, mencoba meraih sedikit saja rasa kemanusiaan dari setiap langkah kaki yang melewatinya. Aku yang kini setiap hari melihat wajah mereka agaknya memang sudah tak lagi punya sedikit rasa yang diharapkan oleh pengemis-pengemis itu. Tak ada terlihat aku menoleh ke arah mereka, dikeluarkanlah jurus kedua mereka dengan menajamkan pandangannya ke mataku seolah sedang berbisik "lihatlah kami!" lantas menanyakan "apakah terlalu sedikit rezeki dari Tuhan tuan lantas tuan tidak membagi barang sedikit kepada kami?". Bahkan dilanjutkan "sedikit saja wajah tuan dipalingkan ke kami pun tidak, seakan tuan malu jika wajah lusuh ini berpandangan dengan wajah tuan yang segar".

Aku melihat mahasiswa di depanku berlalu saja melewati pengemis-pengemis tersebut tanpa menoleh sedikitpun kearah mereka. Mungkin ia pun sama denganku, tak kasihan dan tak berpikir untuk kasihan barang sedikitpun. Aku mengikuti langkah mahasiswa perempuan didepanku tersebut, berlalu dan tak peduli dengan pengemis-pengemis yang menungguku memberikan sedikit saja rezeki yang ku punya.

Belum terlalu jauh aku berlalu dari pintu kecil aku mendengar celotehan anak SMA dibelakangku "bud, baik sekali kau memberi uang ke pengemis" kata salah satu dari gerombolan tersebut. "yah, memang begitu ajaran Ibuku, wan, kita memang tak bisa mengubah nasib mereka yang menjadi pengemis, tapi setidaknya kita bisa membantu mereka melewati hari ini dengan mengisi perutnya, begitu kata ibuku" ucap Budi.

Mendengar perkataan Budi seakan sebuah anak panah menancap tepat di jantungku, seakan berhenti aliran darahku. Aku yang sehari-hari kuliah dengan tujuan mencari ilmu rasa-rasanya telah hilang semua kegunaan ilmuku saat itu juga. Aku merasa telah sangat berdosa, bagaimana mungkin kami, mahasiswa "terpelajar" yang memang khusus disiapkan menjadi penyambung lidah masyarakat atas apa yang dirasa kurang dan atas apa yang dibutuhkan oleh rakyat tak punya pemikiran seperti Budi yang sejatinya masih siswa SMA, namun telah jauh melampauiku dalam hal pemikirannya.

Persoalannya sekarang adalah bahwa mahasiswa telah jauh bergeser, tidak lagi berpikir bagaimana ia nanti bermanfaat bagi masyarakat, namun berpikir bagaimana nanti kedudukanku di masyarakat. mereka seolah lupa jika yang terpenting bukan apa kedudukan kita, tapi seberapa besar peran dan manfaat adanya kita. Semoga aku dan mahasiswa-mahasiswa kini tak lupa, jika tujuan berada di kampus bukan hanya melulu persoalan ilmu pengetahuan, namun lebih jauh dari itu adalah untuk bisa mengubah kondisi rakyat Indonesia menjadi lebih sejahtera, seperti Budi yang memberi sebagian rezekinya kepada pengemis di pagi hari.

Ini seakan mengingatkanku pada tokoh nasional Indonesia, Muhammad Hatta yang dalam hidupnya mengabdikan dirinya untuk mengabdi kepada Rakyat Indonesia, tak peduli bagaimana keadaan hidupnya bersama keluarga yang sangat sederhana. Bahkan bisa dibilang "menyedihkan".

Mari yang menamakan dirinya mahasiswa, kita mulai kembali kepada Tri Dharma Perguran Tinggi, dimulai dengan kita belajar, kita amati dan teliti kondisi masyarakat sekitar kita lalu akan tiba nanti saatnya kita mengabdi. Memberikan apa yang seharusnya kita beri pada Negeri.

Ciputat, 27 Agustus 2016.

Malam temaram ditemani secangkir kopi hitam.

Featured Review
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Tag Cloud
No tags yet.
bottom of page